Senin, 06 April 2009

BELAJAR DARI KEMATIAN



Kematian adalah peristiwa akbar yang akan menimpa siapa saja yang bernama makluk hidup. Cepat atau lambat kematian itu pasti akan tiba, yang membedakan hanya waktu, siapa yang akan dipanggil lebih dulu dan siapa yang masih ditangguhkan. Jatah untuk kearah panggilan itu masing-masing sudah jelas.

Dalam firman-Nya Alloh SWT menjelaskan urutan-urutan kepastian ini, yang diawali dengan mengingatkan asal-muasal kejadian manusia sebagai berikut :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sesuatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Alloh, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (QS. Al-Mu’minun : 12 – 15)

Kita semua ini tidak lain adalah makhluk-makhluk yang sedang pasrah menunggu datangnya al-maut. Suka atau tidak suka, siap atau pun tidak siap kematian akan datang juga. Mungkin nanti, besok, lusa, atau bahkan setelah kita membaca dan merenungkan tulisan ini.

Karena kesibukan, orang sering dibuat lupa dengan sunatulloh ini. Kesibukkan sering mengantarkan orang lupa diri pada jadwal tetap yang pasti akan dialami. Kekagetan biasanya muncul setelah ada sanak saudara atau tetangga yang meninggal. Pada saat itu baru kembali muncul kesadaran bahwa panggilan bergilir kealam baqa masih terus berlanjut. Undangan kematian masih tetap datang. Anehnya, banyak informasi kematian yang diterima baik melalui televisi, majalah, maupun surat kabar, sering tidak menggetarkan hati, bahkan bernilai seperti hiburan. Berita perihal kematian – yang mengerikan sekalipun – tidak ubahnya dengan berita-berita yang lain seputar kasus politik dan kriminalitas. Misalnya kematian massal korban bencana Situ Gintung, ketika peristiwa itu baru terjadi hampir seluruh masyarakat bangsa ini terbelalak, menangis, histeris. Seolah tidak yakin kalau hukum kepastian ini juga berlaku bagi masyarakat di sekitar Situ Gintung, mereka meraung dan meratap.

Ratapan dan lolongan itu justru aneh, karena lupa dibalik itu masih ada jadwal panggilan untuk dirinya juga, sudah ada dihadapan matanya, sudah beberapa saat lagi tiba gilirannya. Maka benar kata ustadz Jefri (dalam wawancara di TV), bahwa ini semua hakekatnya adalah pelajaran yang berharga bagi yang hidup, sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri menghadapi maut yang setiap saat mengintai kita?

Mengapa peristiwa kematian tidak banyak mengundang kesadaran? Padahal disana lengkap terpampang sejumlah mayat yang bergelimpangan, juga dengan uraian-uraian kejadian yang terkadang didramatisir media massa sehingga nampak begitu mengerikan.

Kejadian seperti itu tidak lain karena manusia sudah begitu lelah menghadapi kehidupan ini. Manusia telah disibukkan oleh berbagai kegiatan mencari penghidupan yang membuatnya lupa diri, dipadatkan oleh masalah yang bertumpuk. Masalah itu setiap hari semakin bertambah banyak. Karena kelelahan itulah hingga informasi yang datangya dari kampung akhirat bukan bernilai pendidikan dan peringatan lagi.

Berkaitan dengan masalah tersebut, salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasululloh saw, “Ya Rasululloh, pesankan sesuatu kepadaku yang akan berguna bagiku dari sisi Alloh. “Nabi saw lalu bersabda, “Perbanyaklah mengingat kematian, maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur. Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Alloh, dan perbanyaklah do’a. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui kapan do’amu akan terkabul.” (HR. Ath-Thabrani)

Ingat kepada kematian akan membuat manusia punya kendali. Pangkal dari lupa dan keserakahan sebenarnya dari sini, tidak ingat akan mati. Yang dibayangkan bagaimana bisa hidup lebih lama, bersenang-senang, dan dapat menghabiskan waktunya dengan bersuka-ria dengan leluasa. Kalau ada jatah, bahkan tidak menutup kemungkinan minta umurnya ditambah hingga seribu tahun.

Yang serakah bertambah serakahnya, yang rakus semakin rakus, dan yang zhalim semakin bertambah kezhalimannya. Kecenderungan kearah sana sangat dimungkinkan dimiliki oleh siapa saja, lebih khususnya oleh mereka yang lupa akan al-maut.

Rasululloh saw bersabda, “Cukuplah maut sebagai pelajaran (guru) dan keyakinan sebagai kekayaan.” (HR. Ath-Thabrani)

Seandainya kematian itu telah dipetik sebagai pelajaran (guru), hati manusia secara otomatis akan terkendali. Kecurangan, keserakahan, kesombongan, dan berbagai bentuk penyakit hati yang bersarang di hati dan pikiran akan dibunuh oleh takutnya pada kematian.

Sebagus apapun rupa, pada akhirnya akan binasa. Secantik bagaimanapun istri yang kita sayangi, anak yang kita kasihi, perhiasan dan istana yang ada, semua akan ditinggalkan juga. Semuanya akan diakhiri oleh kematian.

Karena hukum pasti-Nya ini, Nabiyulloh saw mengingatkan agar dalam pergaulan kita tidak mudah tertipu oleh bayang-bayang. Kita tidak boleh memvonis seseoranga itu baik atau jahat, beruntung atau celaka. Karena kunci dari semua itu adalah pada akhir perjalanannya.

“Janganlah kamu mengagumi amal seseorang sehingga kamu dapat menyaksikan hasil akhir kerjanya.” (HR. Ath-Thabrani)

Boleh jadi kita sering heran. Tidak jarang orang yang kelihatan baik-baik, rajin beribadah dan bepuasa di bulan ramadhan meninggal dalam keadaan bermaksiat. Sementara disisi lain kita juga menjumpai kasus yang tidak masuk akal, karena orang yang semula kita katakan brengsek, suka mengganggu lingkungan, bahkan dalam kalkulasi kita tidak pernah ada bayangan bakal mencium bau syurga sekalipun, justru mengakhiri hidupnya dengan husnul khatimah.

Tapi kasus seperti itu bukan untuk membuat kita ragu atau plin-plan. Pegangan hidup harus jelas. Menegakkan kepribadian islam sama sekali tidak boleh surut dengan menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh saw untuk diri kita dan lingkungan. Karena Alloh tetap Maha Adil. Kalau Dia memutuskan untuk memberi hidayah terhadap seseorang, maka tentulah ada pada diri seseorang itu nilai yang baik yang layak sebagai landasan pemberian petunjuk itu. Ketentuan dan kehendak Alloh diluar kaidah apapun yang ditimpakan kepada manusia, hanya saja Dia menunjukkan cara yang bisa dipahami, misalnya dengan kaidah sebab akibat.

Semua itu terjadi atas kehendak Alloh terhadap makhluk-Nya agar sunnah-Nya dipelajari, direnungkan, dan dihayati apa makna-maknanya. Dan yang terpenting agar kita dijauhkan dari akhir kehidupan yang rugi dan sia-sia, su’ul khatimah. Marilah kita ingat sekali lagi, bahwa kita akan mati, dan mungkin saja itu terjadi besok pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar