Selasa, 07 Juni 2011

Penyelam Mutiara

Perjalanan hidup manusia tidak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara. Seorang penyelam mutiara, dalam melaksanakan tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang dipunggungnya. Pada saat ia terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya. Tetapi begitu ia berada di bawah permukaan, ia mulai lupa pada apa yang harus dicarinya. Kenapa? Ternyata pemandangan di dalam laut sangat mempesona. Bunga karang yang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya; ikan-ikan hias berwarna-warni yang saling berkejaran dengan riangnya membuatnya terpana. Ia pun lalu terlena ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk mencari tiram yang berada jauh didasar laut sana.

Hingga pada suatu saat, dia terkejut mana kala disadarinya oksigen yang berada dipunggungnya tinggal sedikit lagi. Timbullah rasa takutnya. Tak terbayangkan olehnya bagaimana kemarahan majikannya kelak bila ia muncul kepermukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka dengan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram mutiara yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, energinya sudah habis terkuras bercanda ria dengan keindahan bawah laut.

Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mutiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi, karena tergesa-gesa dia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik, sehingga ketika tersenggol ikan yang berseliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah di dapatnya dengan susah payah itu sebagian tertumpah ke luar.

Di permukaan, majikannya telah menunggu. Begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan, maka tumpahlah caci makinya; dan saat itu juga si penyelam dipecatnya tanpa pesangon sedikitpun! Tentu saja bisa kita bayangkan gundahnya perasaan si penyelam!

Dengan penuh rasa penyesalan, si penyelam berusaha meminta kesempatan ulang untuk menyelam kembali, “Tuan, ijinkanlah aku untuk menyelam kembali, pasti aku akan mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya!” Namun majikannya dengan tegas menolak, “Percuma engkau aku beri kesempatan, ternyata engkau hanya pandai membuang-buang oksigen saja!”.

Kisah ini amat mirip dengan perjalanan hidup manusia di dunia. Tabung oksigen adalah perlambang jatah umur manusia; tiram mutiara mengibaratkan pahala yang harus kita kumpulkan; dan tiram mutiara yang tumpah mengumpamakan pahala yang hilang karena riya’; sedangkan keindahan yang ada di dalam lautan melambangkan godaan-godaan kenikmatan duniawi dengan harta, tahta dan wanitanya!

Marilah kita instrofeksi, sudah cukupkah tiram mutiara yang kita peroleh, sehingga bila suatu saat kita muncul ke permukaan menemui majikan kita, ALLOH SWT, Ia ridha menerima kita ... Apalagi Ia berfirman dalam surat Al-Ankabuut : 64 : “Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan”.

(Inspirasi: Sentuhan Kalbu, Ir. Permadi Alibasyah)

(Untuk sahabat, sebagai bahan renungan menjelang milad yang ke-35 / 21 Juni 2011. Semoga tulisan ini menjadi energy positif untuk berbuat lebih baik lagi bagi keluarga, suami, anak-anaknya yang cantik, dan orang-orang disekitarnya. Amien...)

Selasa, 06 April 2010

Efek Kata-Kata

Dalam buku The True Power of Water, Dr Masaro Emoto membuktikan bahwa air dapat membawa pesan. Air yang dibacakan kata-kata positif akan merespon dan membentuk kristal-kristal positif yang merekah bagaikan bunga di pagi hari. Apalagi bila diucapkan di hadapan air adalah do’a-do’a.

Sebaliknya, jika yang diucapkan adalah kata-kata negatif, maka air akan membentuk kristal-kristal pecah yang berdampak negatif. Hasil penelitian ini menegakan pentingnya kata-kata positif bagi manusia yang 70 persen tubuhnya terdiri atas air.

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang anggota keluarga mengucapkan kata-kata negatif kepada anggota keluarga lainnya. Dampak dari ucapan negatif ini sering kali tidak disadari karena minimnya bahaya dari ucapan negatif itu. Kata “bodoh”, “pemalas”, “cengeng”, sering kali terucap dari bibir orang tua kepada anaknya.

Meski demikian, Allah mengingatkan agar seorang anak tidak mengucapkan kata-kata kasar kepada orang tuanya. “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan uacapkanlah kepada mereka perkataan mulia”. (QS. Al-Isra : 23). Larangan mengucapkan kata negatif tentu tidak hanya berlaku pada anak terhadap orang tuanya. Larangan ini berlaku pada siapa saja dan terhadap siapa saja.

Selain berdampakmenyakitkan hati – yang berarti merusak hubungan kekeluargaan – kata-kata negatif juga mempengaruhi orang yang menjadi sasaran kata-kata itu secara psikologis. Dalam tubuh manusia yang 70 persen terdiri atas air akan terbentuk kristal-kristal pecah ketika sering menerima ucapan yang negatif. Bayangkan jika itu terjadi pada anak-anak kita.

Hasil penelitian Emoto juga menegaskan bahwa pada hakikatnya kata-kata memiliki kekuatan “mencipta”. Kata-kata negatif akan menciptakan sesuatu yang negatif dan kata-kata positif akan menciptakan sesuatu yang positif. Mungkin inilah rahasia sabda Rasulullah saw. : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata baik atau diam”. Hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist. Penemuan ilmiah Emoto tersebut sangat penting untuk menegaskan hikmah dibalik hadist di atas. Jika kita tidak mampu mengucapkan kata-kata yang baik, maka pilihan bijak adalah diam. Karena, ucapan negatif memiliki dampak negatif secara sosial dan psikologis yang berarti menciptakan ketegangan dan penyimpangan dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat. Maka, hendaknya kita ciptakan kehidupan yang baik dan damai dengan mengucapkan kata-kata positif kepada semua orang disekitar kita.

Sabtu, 07 November 2009

KHUTBAH ‘IDUL ADHA 1430 H

“MENELADANI JEJAK LANGKAH NABI IBRAHIM AS. DAN KELUARGANYA”

{Disusun Oleh : Jalaluddin, S.Ag.}

(Konsep Khutbah pertama disesuaikan sendiri oleh pembaca)

Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia.

Dengan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Alloh Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Kita sambut kedatangan ‘Idul Adha pada hari ini dengan Takbir dan Tahmid : “Allohu Akbar ! Allohu Akbar! Allohu Akbar! Laa Ilaaha Illalloh, Allohu Akbar! Allohu Akbar! Walillaahil Hamdu! “

Maha Besar Alloh, yang telah menjadikan alam semesta ini dengan segala apa yang terkandung di dalamnya dengan amat sempurna, tiada ada kekurangan, tiada ada cacat yang terkandung padanya.

Maha Pengasih dan Penyayang Alloh, yang telah mengutus Rasulnya yang terakhir untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang arti dan tujuan hidup sebagai hamba-hambaNya yang mulia.

Maha Bijaksana Alloh, yang telah menjadikan hari raya ‘Idul Adha ini sebagai saat yang amat penting artinya bagi kita dalam peningkatan semangat dan ruh berqurban, dalam rangka pengabdian kita kepadaNya Tuhan seru sekalian Alam.

Pada hari ini, tanggal 10 zulhijjah, pada sat kita merayakan ‘Idul Adha di tempat ini, sejumlah kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia yang mmencapai jutaan ummat manusia sedang berkumpul di kota Mina, di tanah Haram dalam rangka menunaikan ibadah haji, rukun islam yang ke lima.

Dengan patuh dan taat, dengan semangat pengabdian yang tinggi, mereka mengikuti segala aturan pelaksanaan ritul ibadah haji sebagaimana seharusnya dilakukan oleh tiap-tiap jamaah.

Pelaksanaan ibadah haji ini mengingatkan kita kembali kepada peristiwa yang terjadi beribu-ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan semangat dan ruh berqurban seorang hamba Alloh yang saleh, yang tidak ada bandingannya yaitu Nabi Ibrahim as.

Diriwayatkan, bahwa beliau mendapat perintah dari Alloh SWT., supaya meninggalkan tempat kediamannya dan membawa keluarganya, istrinya Siti Hajar dan puteranya yang masih kecil Ismail ke suatu tempat yang didalam Al Qur’an disebutkan “Biwaadin ghairi dzi zar’in” suatu lembah yang tidak ada satu tanamanpun yang tumbuh, padang sahara yang gersang dan tandus.

Kemudian datang perintah berikutnya, yaitu Nabi Ibrahim harus meninggalkan mereka di tempat yang menakutksn itu. Berat rasanya untuk melakukan perintah ini, tetapi karena jiwa dan raga telah disediakan untuk mengabdi dan berbakti kepada Alloh, dengan ikhlas dan penuh tawakkal Nabi Ibrahim as. Meniggalkan istrinya dan anak yang amat dikasihinya itu. Tetapi sebelum berangkat meninggalkan mereka, terlebih dahulu beliau menyampaikan do’a serta permohonan kepada Khaliknya, Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Ya Alloh, Ya Robbi ! Aku mohon kepadaMu supaya dengan bantuanMu keluarga tetap :

- Melaksanakan Shalat (liyuqiimush sholaata)

- Manusia tetap mencintai mereka (Faj’al afidatam minannaasi tahwii ilaihim)

- Dan mensyukuri karunia yang Engkau limpahkan kepada mereka (Warzuqhum minast tsamaraati la’allahum yasykuruun).

Saudara- saudara kaum muslimin yang berbahagia!

Perhatikanlah betapa indah dan tepatnya do’a ini dan sekaligus memberi petunjuk kepada kita, bagaimana seharusnya kita memulai langkah dalam mengatur dan mengurus kehidupan kita di dunia ini.

Nabi Ibrahim berkeyakinan bahwa hanya orang-orang yang baik hubungannya dengan Alloh, serta bak pula hubungannya dengan sesma manusia, yaitu orang-orang yang hidupnya adalah untuk mengabdi kepada Alloh SWT.

Hanya orang-orang inilah, orang-orang yang baik jiwanya serta sehat rohaninya yang akan dapat mensyukuri nikmat karunia Alloh dan dapat mempergunakan nikmat karunia itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mendatangkan manfaat bagi semua pihak. Pembangunan suatu negara dan bangsa hanya akan berhasil dan sukses. Kalau manusia-manusianya baik jiwanya dan sehat rohaninya, tinggi cita-citanya, serta luhur budi pekertinya (moral).

Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar! Walillaahil Hamdu!

Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia.

Do’a Nabi Ibrahim as. Dikabulkan Alloh dan dengan kasih sayangNya, istrinya Siti Hajar dan puteranya Ismail terhindar dari mara bahaya dan mereka hidup dengan ridha Alloh Yang Maha Bijaksana.

Beberapa tahun sesudah itu, setelah Nabi Ibrahim kembali didapatinya puteranya Ismail telah menjadi seorang pemuda yang sehat badannya, baik rupanya dan luhur budi pekertinya, sifat-sifat yang menumbuhkan rasa cinta ayah dan bundanya.

Pada saat hati sedang tertumpah pada anak tunggal, yang sudah dapat membantu ayahnya mencari nafkah, maka pada saat itu datang pula perintah dari Alloh SWT. Agar Nabi Ibrahim mengurbankan Ismail si jantung hati si biran tulang.

Perintah inipun dihadapi oleh Nabi Ibrahim dengan penuh ketabahan dan dengan hati yang tidak ada keraguan sedikitpun, dipanggil putranya sambil berkata :

Yaa bunayya innii araa filmanaami annii adzbahuka fandhur maadzaataraa, yaa abati-f’al maa tu’maru satajidunii insyaa’allahu minash-shaabiriina.”

Artinya : Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku mnyebelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab, wahai ayahku laksanakanlah apa yanh diperintahkan Alloh kepdamu, insya Alloh engkau akan dapati aku dari orang-orang yang taat dan sabar. (QS. Ash-Shofaat : 102).

Andaikan Ibrahim manusia yang dhaif, tentu akan sulit menentukan pilihan salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Alloh atau Ismail. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Alloh tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Alloh yang siap memenuhi setiap perintahNya dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya memudar kepada Alloh karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Alloh dan mengorbankan Ismail yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi ummat Nabi Muhammad SAW.

Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Alloh adalah keta’atan Ismail untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: “Kenapa Ismail, seorang pemuda yang masih mua belia menyerahkan jiwanya? Bagaimanakah Ismail sampai memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdo’a : “Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang saleh” (Ash-Shaffat : 100). Maka Alloh mengabulkan do’anya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim(Ash-Saffat : 101). Inilah rahasia kepatuhan Ismail yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Ismail berkata pada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Alloh, niscaya akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Alloh” (Ash-Shaffat : 102).

Orang tua mana yang tidak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Alloh yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya mulia. Disinilah peran penting pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat “ghulamun halim”.

Lihatlah! Betapa hebat dan tingginya semangat berqurban dari seorang hamba Alloh yang sudah lanjut usianya dan seorang anak yang masih muda belia. Tidak sedikitpun hati mereka guncang dalam melaksanakan perintah Alloh, sekalipun harus berpisah dengan segala apa yang mereka cintai. Beginilah pengaruh jiwa Tauhid!.

Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar! Walillaahi Hamdu!

Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia.

Semangat inilah yang harus kita bangkitkan kembali dalam dada ummat islam, semangat kesediaan meninggalkan keduniawian yang sangat mengikat hati ini dalam upaya pengabdian kita kepada Khaliq Rabbul ‘Alamiin. Kesediaan berqurban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kesediaan berqurban untuk kepentingan orang lain, saling menyayangi dan sanggup mendengar serta memperhatikan sesama manakala ditimpa musibah.

Demikianlah ibadah haji dan qurban, bukanlah sekedar upacara tanpa makna dan nilai ruhani. Al-Qur’an mengkaitkan ibadah tersebut dengan kepasrahan diri kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan segala keteguhan serta ketabahan menderita didalam bertaqwa kepadaNya.

Dengan jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa bukanlah daging atau darah hewan qurban itu yang sampai kepada Alloh SWT., melainkan taqwa, yakni kesediaan dan kesetiaan memenuhi perintah Alloh sajalah yang akan sampai ke hadiratNya.

Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Lan yanaalalloha luhuumuhaaa walaadimaa ‘uhaa walaakin yanaaluhut-taqwaa minkum”

Artinya : Tak akan sampai kepada Alloh, baik daging maupun darah hewan qurban itu, melainkan yang sampai kepada Alloh adalah taqwa dari kalian. (QS. Al-Hajj : 37).

Oleh karena itu, kiranya sudah seharusnya apabila dalam kesempatan merayakan hari raya ‘Idul Adha ini, hendaknya kita perbaharui tekad kita untuk senantiasa meneladani jejak langkah tiga profil manusia besar, yakni Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan puteranya Ismail as.

Bagi kaum bapak, kiranya perlu senantiasa menjadikan Nabi Ibrahim as. sebagai tauladan. Ia adalah bapak yang sangat cinta kepada anak istrinya. Tetapi cintanya adalah cinta karena Alloh Tuhan Yang Maha Esa. Ia rela berpisah dengan anak istrinya demi berbakti kepada Alloh. Bahkan Ia rela mengorbankan cintanya yang sangat besar kepada anaknya demi melaksanakan perintah Alloh SWT. Syetan mengoda dan membujuk dirinya, tetapi tidak mampu menjerumuskannya ke jalan kesesatan. Memang dalam kenyataan hidup, orang sering kali harus memilih antara cinta kepada anak, keluarga atau harta disatu pihak, dengan cinta atau taqwa kepada Alloh SWT.dilain pihak, antara kesenangan sementara dengan kesenangan dan keselamatan yang kekal abadi.

Seringkali karena ingin mengejar harta dan memanjakan keluarga, seseorang kemudian melakukan tindakan yang menyeleweng atau melakukan tindakan yang tidak halal dan tidak legal. Dan islam mengajarkan bagaimana kita harus selalu menjauhkan diri dari segala bentuk penyelewengan dan kejahatan, dan sebaliknya taqwa kepada Alloh harus menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan ini. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :

“Ittaqillaaha haistummaa kunta”

Artinya : Bertaqwalah selalu kepada Alloh dimanapun engkau berada. (HR. Turmudzi)

Bagi kaum ibu, sungguh Siti Hajar adalah suri tauladan yang ideal. Ia adalah seorang istri yang sabar setia, dan ibu yang sangat bertanggung jawab terhadap keselamatan anaknya. Ia rela dan ikhlas berpisah dengan suami kalau itu adalah demi tugas suci dan bakti kepada Ilahi. Ia tabah dalam penderitaan dan rela berkorban kalau itu demi keselamatan anak dan bakti kepada Alloh SWT. Dia tidak tergoda oleh bujuk rayu syetan yang menjanjikan kesenangan diri dengan membelakangi perintah Alloh SWT.

Bagi bangsa indonesia yang sedang membangun, karena ingin segera mengembalikan negaranya dari keterpurukan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sungguh sangat penting bagi kaum wanitanya senantiasa meneladani jejak langkan Siti Hajar ini, karena pembangunan bagaimanapun memerlukan partisipasi semangat dan pengorbanan yang tinggi dari kaum wanita, sebagaimana yang dicontohkan oleh Siti Hajar. Wanita sebagai istri yang setia akan menciptakan stabilitas rumah tangga, wanita sebagai ibu yang pandai menjaga keselamatan anaknya akan melahirkan generasi muda bangsa yang sehat dan berakhlak mulia. Wanita sebagai kekasih suami yang tabah dan tahan menderita akan menciptakan suami yang jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Wanita dengan iman yang kuat akan menjadi tiang yang kokoh bagi negara dan bangsanya.

Karena itu Hukama berkata :

“Almar ‘atu ‘imaadulbilaad, idzaa sholahat sholahat waidza fasadat fasadat”.

Artinya : Wanita adalah tiang negara, bila ia baik maka baiklah negara dan bila ia rusak maka rusak pulalah negara.

Selanjutnya bagi generasi muda, hendaknya selalu mencontoh jejak langkah Ismail. Ia adalah pemuda remaja yang taat dan taqwa kepada Alloh dan bakti kepada kedua orang tuanya. Dan untuk itu Ia rela mengorbankan jiwa raganya. Sungguh pengorbanan Ismail adalah sangat besar, tetapi hal itu adalah demi tujuan yang besar pula. Memang untuk tujuan dan cita-cita yang besar, selalu diperlukan pengorbanan dan pekerjaan-pekerjaan yang besar.

Adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari generasi muda sekarang banyak mengorbankan waktu dan dirinya dengan sikap dan perilaku yang tidak ada gunanya. Mereka korbankan dirinya hanya demi narkoba, mereka pertaruhkan jiwa dan raganya guna menyalurkan emosi dan kehormatan semu dengan tawuran, mereka gadaikan dan jual harga dirinya bahkan aqidahnya hanya demi uang dan materi. Suatu fenomena yang sangat memprihatinkan dan perlu perhatian kita semua.

Dan bagi bangsa Indonesia yang bertekad meneruskan usaha pembangunan dan pembaharuan (reformasi) disegala bidang kehidupan, karya-karya besar dari generasi muda jelas sangat diperlukan. Karena pembangunan suatu bangsa bukanlah hanya tanggung jawab generasi tua atau mereka yang sekarang duduk di pemerintahan saja, akan tetapi pembangunan suatu bangsa adalah juga tanggung jawab generasi muda. Baik generasi tua maupun generasi muda bahkan anak-anak, semuanya ada dalam satu kesatuan wawasan kehidupan.

Bahkan kata hikmah menyatakan :

“Subbaanul yaum, Rijaalulghadi”

Artinya : Pemuda hari ini adalah pemimpin dihari esok.

Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar! Walillaahil Hamdu!

Setelah selesai kita melakukan shalat ‘Idul Adha yang berbahagia ini, dalam jangka waktu empat hari kita disyari’atkan untuk menyebelih hewan qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Penyembelihan hewan qurban ini seolah-olah merupakan tindakan simbolis dari tekad yang kuat untuk menyembelih dan menundukkan nafsu-nafsu hewaniah yang ada pada diri manusia, yang sering mendorong manusia ke arah perbuatan keji dan munkar.

Dan daging qurban dibagi-bagikan kepada fakir miskin adalah merupakan pernyataan uluran tangan kepada sesama manusia yang kurang mampu atau menderita. Memang dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mencela orang-orang yang tidak menghiraukan penderitaan dan kemiskinan orang lain. Dalam sebuah hadist junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Bersabda :

Laisalmu’minul-ladzii yasyba’u wajaaruhu jaa i’un ‘alaa janbihi”

Artinya: Tidaklah termasuk orang-orang yang beriman, mereka yang kenyang, sedangkan tetangga di sebelahnya dalam kelaparan. (HR. Baihaqi).

Secara jelas hadist Nabi Muhammad tersebut, menyebutkan orang-orang yang tidak menghiraukan kelaparan tetangganya sedangkan ia sendiri dalam keadaan kekenyangan, sebagai orang-orang yang tidak beriman. Memang sikap mementingkan diri sendiri dan tidak peka terhadap nasib dan penderitaan orang lain adalah sikap yang sangat tercela serta berbahaya bagi kelangsungan dan ketertiban hidup masyarakat. Dalam kenyataan, dapat kita saksikan bahwa kericuhan, kekacauan, penyimpangan dan penyelewengan, kekejian dan kejahatan, adalah sumber dari hawa nafsu yang tidak terkendalikan serta tipisnya kesadaran sosial. Sebaliknya keselamatan manusia, baik sebagai orang seorang, sebagai masyarakat ataupun sebagai bangsa, adalah terletak pada mampu tidaknya ia menguasai hawa nafsu serta tinggi rendahnya kesadaran sosial yang dimilikinya.

Disini hari raya ‘Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukuwah, pengrbanan, dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh ummat.

Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia.

Demikianlah uraian khutbah ‘Idul Adha yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya bagi kita sekalian. Amiin.

Untuk itu marilah kita berdo’a kehadirat Alloh SWT. Semoga Alloh senantiasa memberikan rahmat, hidayah, inayah, serta ampunannya kepada kita semua didalam melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa’alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin.

Allohummaghfir lilmuslimiina walmuslimaati walmu’miniina walmu’minaati al-ahyaa’i minhum wal-amwaati wayaaqaadhiyal-haajaati.

Allohumma Ya Rabbanaa, telah banyak engkau berkahi kami dengan rahmat karuniaMu, namun kami sering maksiat kepadaMu. Telah banyak Engkau penuhi kenikmatan hidup kami dengan kemurahanMu, namun kami sering ingkar dan tidak bersyukur kepadaMu. Telah banyak engkau tutup aib dan kekurangan kami dengan kemulianMu, namun kami sering kali menganiaya diri kami sendiri. Betapa banyak sudah dosa yang kami lakukan, betapa beratnya siksa yang akan kami tanggung, sehingga kami malu memohon kepadaMu. Namun kemana lagi kami harus mengadu dan memohon ampunan Ya Allloh, kecuali hanya kepadaMu.

Kami tidak putus harapan mengadu kepadaMu, kami tidak letih meminta dan mengharap kepadaMu. Betapapun besarnya kesalahan dan dosa kami, maaf dan ampunanMu meliputi segala sesuatu. Karena itu Ya Alloh, ampunilah segala dosa kami,hapuskanlah segala kesalahan kami, bersihkan hati dan jiwa kami, indahkan akhlak dan kelakuan kami, sambungkan kembali persaudaraan diantara kami, angkatlah bangsa kami Ya Alloh dari jurang kehinaan, berilah kami pemimpin yang mampu membimbing kami kearah kebaikan, dan tunjukkan bagi kami jalan keselamatan dunia dan akhirat agar kami tidak tersesat. Engkau maha mendengar dan Maha mengabulkan. Kabulkanlah do’a dan permohonan kami.

Alloohumma innaa nas’alukal-‘afwa wal-‘aafiyah, wal-mu’aafaata d-daa’imah, fid-diini wa d-dunyaa wal-aakhirah, wal-fauza bil-jannah, wa n-najaata minan-naar.

Allohumma innaa nas’aluka muujibaati rahmatik, wa’azaa’ima maghfiratik, was-salaamata min kulli itsm, wal-ghaniimata min kulli birr, wal-fauza bil-jannah, wan-najaata minan-naar.

Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wafil-aakhirati hasanah, waqinaa’adzaaban-naar, wa’adkhilna l-jannata ma’al-abraar, yaa’aziiz, yaa ghaffaar, yaa rabbal-‘aalamiin. Walhamdulillaahi rabbil’aalamiin.

(Yang biasa menggunakan khutbah dua, mohon disesuaikan).

Keterangan :

Khutbah ini dibuat oleh almarhum ayahanda tercinta Drs. KH. Uho Syarifuddin, pernah disampaikan pada pelaksanaan shalat ‘Idul Adha di Alun-alun Pemda Kab. Subang, ketika beliau masih bertugas di Departemen Agama Kab.Subang. Dan telah di edit serta ada penambahan dan penyesuaian oleh penyusun. Semoga menjadi amal shaleh bagi almarhum yang telah mengabdikan dirinya untuk dakwah. Amiin.

Jumat, 10 April 2009

BERSEDEKAH DALAM KELAPARAN

Hasan dan Husen (kedua cucu Rasululloh saw) pada suatu saat jatuh sakit. Kedua orang tuanya, Ali dan Fatimah serta pengasuhnya Fiddhah, sangat khawatir. Mereka bernazar, “akan puasa selama tiga hari, bila Alloh mnyembuhkannya”.
Setelah keduanya sembuh, ketiganya pun mulai berpuasa. Sementara di rumah itu tak ada makanan sedikitpun buat berbuka dan sahur. Ali meminjam tiga mangkok gandum pada sahabatnya. Hari pertama puasa, Fatimah menepungnya semangkok dan langsung dibuatnya roti untuk berbuka.

Ketika azan maghrib bergema, Ali, Fatimah, dan Fiddhah duduk mengelilingi hidangan yang hanya beberapa potong roti dan air saja. Waktu hendak berbuka, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang. Ternyata lelaki miskin yang mohon uluran tangan. Semua roti itu mereka berikan kepadanya. Semalaman sejak berbuka sampai sahur, tak satupun makanan yang masuk ke perut selain hanya air saja. Besoknya mereka kembali berpuasa. Fatimah menepung lagi semangkok gandum dan dibikinnya roti. Waktu azan tiba, mereka pun duduk mengelilingi hidangan untuk berbuka. Tanpa diduga pintu rumah diketuk orang. Rupanya seorang anak yatim yang meminta-minta. Roti itu mereka berikan pula kepada anak tersebut. Tak satupun makanan yang mereka makan malam itu selain air saja.

Di hari ketiga, fatimah menepung gandum yang masih tersisa, dibikinnya juga roti untuk berbuka. Namun ketika hendak berbuka, datang pula seorang tawanan mengetuk pintu. Seluruh makanan yang ada, mereka berikan kepadanya. Ketiganya bertahmid dan bersyukur kepada Alloh, karena mereka telah selesai menunaikan nazarnya.
Kejadian ini seperti yang terungkap dalam Al-Qur’an :

“Mereka mnyempurnakan nazarnya, dan mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana. Dan Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan, (sambil berkata),”sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah mengharapkan keridhaan Alloh, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu.” (QS. Al-Insaan : 7 – 9).

Senin, 06 April 2009

BELAJAR DARI KEMATIAN



Kematian adalah peristiwa akbar yang akan menimpa siapa saja yang bernama makluk hidup. Cepat atau lambat kematian itu pasti akan tiba, yang membedakan hanya waktu, siapa yang akan dipanggil lebih dulu dan siapa yang masih ditangguhkan. Jatah untuk kearah panggilan itu masing-masing sudah jelas.

Dalam firman-Nya Alloh SWT menjelaskan urutan-urutan kepastian ini, yang diawali dengan mengingatkan asal-muasal kejadian manusia sebagai berikut :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sesuatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Alloh, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (QS. Al-Mu’minun : 12 – 15)

Kita semua ini tidak lain adalah makhluk-makhluk yang sedang pasrah menunggu datangnya al-maut. Suka atau tidak suka, siap atau pun tidak siap kematian akan datang juga. Mungkin nanti, besok, lusa, atau bahkan setelah kita membaca dan merenungkan tulisan ini.

Karena kesibukan, orang sering dibuat lupa dengan sunatulloh ini. Kesibukkan sering mengantarkan orang lupa diri pada jadwal tetap yang pasti akan dialami. Kekagetan biasanya muncul setelah ada sanak saudara atau tetangga yang meninggal. Pada saat itu baru kembali muncul kesadaran bahwa panggilan bergilir kealam baqa masih terus berlanjut. Undangan kematian masih tetap datang. Anehnya, banyak informasi kematian yang diterima baik melalui televisi, majalah, maupun surat kabar, sering tidak menggetarkan hati, bahkan bernilai seperti hiburan. Berita perihal kematian – yang mengerikan sekalipun – tidak ubahnya dengan berita-berita yang lain seputar kasus politik dan kriminalitas. Misalnya kematian massal korban bencana Situ Gintung, ketika peristiwa itu baru terjadi hampir seluruh masyarakat bangsa ini terbelalak, menangis, histeris. Seolah tidak yakin kalau hukum kepastian ini juga berlaku bagi masyarakat di sekitar Situ Gintung, mereka meraung dan meratap.

Ratapan dan lolongan itu justru aneh, karena lupa dibalik itu masih ada jadwal panggilan untuk dirinya juga, sudah ada dihadapan matanya, sudah beberapa saat lagi tiba gilirannya. Maka benar kata ustadz Jefri (dalam wawancara di TV), bahwa ini semua hakekatnya adalah pelajaran yang berharga bagi yang hidup, sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri menghadapi maut yang setiap saat mengintai kita?

Mengapa peristiwa kematian tidak banyak mengundang kesadaran? Padahal disana lengkap terpampang sejumlah mayat yang bergelimpangan, juga dengan uraian-uraian kejadian yang terkadang didramatisir media massa sehingga nampak begitu mengerikan.

Kejadian seperti itu tidak lain karena manusia sudah begitu lelah menghadapi kehidupan ini. Manusia telah disibukkan oleh berbagai kegiatan mencari penghidupan yang membuatnya lupa diri, dipadatkan oleh masalah yang bertumpuk. Masalah itu setiap hari semakin bertambah banyak. Karena kelelahan itulah hingga informasi yang datangya dari kampung akhirat bukan bernilai pendidikan dan peringatan lagi.

Berkaitan dengan masalah tersebut, salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasululloh saw, “Ya Rasululloh, pesankan sesuatu kepadaku yang akan berguna bagiku dari sisi Alloh. “Nabi saw lalu bersabda, “Perbanyaklah mengingat kematian, maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur. Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Alloh, dan perbanyaklah do’a. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui kapan do’amu akan terkabul.” (HR. Ath-Thabrani)

Ingat kepada kematian akan membuat manusia punya kendali. Pangkal dari lupa dan keserakahan sebenarnya dari sini, tidak ingat akan mati. Yang dibayangkan bagaimana bisa hidup lebih lama, bersenang-senang, dan dapat menghabiskan waktunya dengan bersuka-ria dengan leluasa. Kalau ada jatah, bahkan tidak menutup kemungkinan minta umurnya ditambah hingga seribu tahun.

Yang serakah bertambah serakahnya, yang rakus semakin rakus, dan yang zhalim semakin bertambah kezhalimannya. Kecenderungan kearah sana sangat dimungkinkan dimiliki oleh siapa saja, lebih khususnya oleh mereka yang lupa akan al-maut.

Rasululloh saw bersabda, “Cukuplah maut sebagai pelajaran (guru) dan keyakinan sebagai kekayaan.” (HR. Ath-Thabrani)

Seandainya kematian itu telah dipetik sebagai pelajaran (guru), hati manusia secara otomatis akan terkendali. Kecurangan, keserakahan, kesombongan, dan berbagai bentuk penyakit hati yang bersarang di hati dan pikiran akan dibunuh oleh takutnya pada kematian.

Sebagus apapun rupa, pada akhirnya akan binasa. Secantik bagaimanapun istri yang kita sayangi, anak yang kita kasihi, perhiasan dan istana yang ada, semua akan ditinggalkan juga. Semuanya akan diakhiri oleh kematian.

Karena hukum pasti-Nya ini, Nabiyulloh saw mengingatkan agar dalam pergaulan kita tidak mudah tertipu oleh bayang-bayang. Kita tidak boleh memvonis seseoranga itu baik atau jahat, beruntung atau celaka. Karena kunci dari semua itu adalah pada akhir perjalanannya.

“Janganlah kamu mengagumi amal seseorang sehingga kamu dapat menyaksikan hasil akhir kerjanya.” (HR. Ath-Thabrani)

Boleh jadi kita sering heran. Tidak jarang orang yang kelihatan baik-baik, rajin beribadah dan bepuasa di bulan ramadhan meninggal dalam keadaan bermaksiat. Sementara disisi lain kita juga menjumpai kasus yang tidak masuk akal, karena orang yang semula kita katakan brengsek, suka mengganggu lingkungan, bahkan dalam kalkulasi kita tidak pernah ada bayangan bakal mencium bau syurga sekalipun, justru mengakhiri hidupnya dengan husnul khatimah.

Tapi kasus seperti itu bukan untuk membuat kita ragu atau plin-plan. Pegangan hidup harus jelas. Menegakkan kepribadian islam sama sekali tidak boleh surut dengan menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh saw untuk diri kita dan lingkungan. Karena Alloh tetap Maha Adil. Kalau Dia memutuskan untuk memberi hidayah terhadap seseorang, maka tentulah ada pada diri seseorang itu nilai yang baik yang layak sebagai landasan pemberian petunjuk itu. Ketentuan dan kehendak Alloh diluar kaidah apapun yang ditimpakan kepada manusia, hanya saja Dia menunjukkan cara yang bisa dipahami, misalnya dengan kaidah sebab akibat.

Semua itu terjadi atas kehendak Alloh terhadap makhluk-Nya agar sunnah-Nya dipelajari, direnungkan, dan dihayati apa makna-maknanya. Dan yang terpenting agar kita dijauhkan dari akhir kehidupan yang rugi dan sia-sia, su’ul khatimah. Marilah kita ingat sekali lagi, bahwa kita akan mati, dan mungkin saja itu terjadi besok pagi.

Jumat, 03 April 2009

JADILAH MUKMIN BAGAIKAN POHON

Salah satu yang harus kita pahami dari pohon adalah bahwa ia harus berhadapan dengan panas dan hujan, bahkan angin selalu menerpanya siang dan malam. Ini menunjukkan bahwa seorang mukmin harus menyadari bahwa ia akan selalu berhadapan dengan ujian yang tiada henti. Rasululloh saw. bersabda :
"Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti pohon. Angin selalu menerpanya sehingga ia miring kekiri dan kekanan. Seorang mukmin senantiasa mengalami cobaan." (HR.At-Tirmidzi)
Ujian merupakan suatu kepastian yang harus dihadapi oleh setiap manusia, apalagi sebagai mukmin. Dengan ujian itu akan terbukti mutu atau kualitas keimanan seseorang, Alloh swt menegaskan hal ini dalam firman-Nya :
"Apakah manusia mengira bahawa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'kami telah beriman', dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Alloh pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabuut : 2 -3)
Diantara hal yang harus kita sadari dari ujian adalah ia tidak hanya berupa hal-hal yang tidak menyenangkan. Tetapi, ujian bisa saja hal-hal yang menyenangkan. Sehingga, seorang mukmin yang sejati tidak mudah putus asa saat mengalami kesulitan hidup, dan tidak lupa diri saat mendapatkan kesenangan-kesenangan berupa harta, tahta, wanita, ilmu pengetahuan, popularitas, kemenangan, dan sebagainya. Alloh swt berfirman :
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami." (QS. Al-Anbiyaa : 35)

Ujian yang dihadapi dengan sikap istiqomah membuat seorang mukmin menjadi manusia yang menakjubkan. Rasululloh saw. bersabda :
"Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperoleh kebaikan, dia memuji Alloh dan bersyukur. Bila ditimpa musibah, dia memuji Alloh dan bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal, walaupun dalam sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut istrinya." (HR. Ahmad danAbu Dawud)
Menyadari ujian adalah merupakan suatu kepastian, maka sahabat Bilal bin Rabah menghadapi ujian itu dengan baik, sehingga ia tercatat sebagai orang yang istiqomah. Demikian juga dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Lalu bagaimana dengan kita ? Mari kita berintrofeksi !

Jumat, 27 Maret 2009

CINTA YANG TERLARANG

Pada suatu hari seorang ulama modern ditanya mengenai halal haramnya percintaan. Beliau menjawab dengan luwes, “Percintaan yang halal adalah halal dan percintaan yang haram adalah haram”.

Pernyataan itu tidak bermaksud berbelit-belit, melainkan berdasarkan kenyataan yang sudah diketahui. Barang yang halal sudah jelas, demikian pula barang yang haram. Diantara keduanya ada hal-hal yang masih samar atau belum jelas, dan manusia banyak yang tidak mengetahuinya.
Yang termasuk halal yang jelas adalah seorang suami mencintai istrinya dan seorang istri mencintai suaminya, seorang peminang mencintai yang dipinangnya dan sebaliknya. Adapun haram yang jelas adalah seorang lelaki mencintai istri orang lain. Dia mengacaukan hati dan pikiran perempuan tersebut, bahkan merusak kehidupan dengan suaminya. Masalah ini bisa berakhir dengan pengkhianatan dalam kehidupan suami istri. Kalaupun tidak sampai demikian, paling tidak akan menimbulkan kekacauan hidup, kekusutan pikiran, serta jauh dari kehidupan keluarga yang tenang. Kerusakan-kerusakan ini adalah akibat dari perbuatan dosa dan Nabi Muhammad saw. Berlepas tangan dari pelakunya. Beliau bersabda :

“Bukan dari golongan kami orang yang membuat kerusakan seorang wanita atas suaminya (kacau kehidupannya)”

Sama dengan hal yang di atas adalah seorang istri yang mencintai lelaki bukan suaminya. Pikirannya menjadi sibuk, berpaling dari suaminya sebagai kawan hidupnya. Hal ini akan mendorong kepada hal-hal yang tidak dihalalkan oleh syara, seperti melihat, berkhalwat (berduaan), dan bersentuhan. Semua ini bisa mendorong kepada perbuatan yang paling berdosa dan paling berbahaya, yaitu perbuatan fahisyah (zina) atau sedikitnya mempunyai niat ke arah itu. Kalaupun hal itu tidak dilaksanakan akan timbul kekacauan pikiran, kegelisahan jiwa, dan merusak kehidupan suami istri. Sebenarnya, hal itu hanya mengikuti kecenderungan hawa nafsu, sedangkan hawa nafsu adalah abdi Alloh yang paling buruk di muka bumi ini.

Al-Qur’anul karim telah mengisahkan seorang istri yang mencintai seorang pemuda yang bukan suaminya. Rasa cinta ini telah menimbulkan banyak masalah yang tidak disenangi oleh manusia dan juga oleh agama. Wanita itu adalah istri seorang raja yang mulia, sedangkan pemudanya adalah Nabi Yusuf Ashidiq. Dia berusaha dengan berbagai cara agar pemuda itu mencintainya. Dia menggoda pemuda itu dengan terang-terangan, tidak menjaga hal-hal yang dapat mennyebabkan pengkhianatan kepada suaminya. Ketika pemuda itu tidak membalas keinginannya yang berlebihan, dia pun memasukannya ke penjara suapaya pemuda itu termasuk golongan orang-orang yang hina. Perbuatannya ini dikatakan sendiri kepada istri-istri pembesar medinah yang hidup mewah.

“Dia berkata, ‘Itulah dia, orang yang kamu cela karena aku (tertarik) kepadanya dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukan dirinya (kepadaku), akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya, jika dia menolak apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk orang-orang yang hina.”
(QS. Yusuf :32)

Sesungguhnya, wanita tersebut berada dalam posisi terpaksa. Dia bukan orang yang mendatangkan pemuda itu ke istana. Justru suaminya yang membeli dan membawa pemuda itu ke rumah, lalu pemuda itu disuruh menemani wanita itu. Dengan demikian wanita itu dapat melihatnya berlalu lalang setiap waktu dihadapannya. Jadi, pemuda itu – dalam adat dan aturan disana – adalah budak dan pelayannya. Alloh telah memberinya kebaikan dan ketampanan, sehingga beliau dijadikan perumpamaan (dalam ketampanan).

Dengan demikian, zina adalah salah satu dosa besar dan perbuatan keji, terlebih jika dilakukan oleh lelaki atau wanita yang sudah berkeluarga. Oleh karena itu siksa dan sangsinya dalam syara lebih berat daripada orang yang masih membujang (belum berkeluarga). Dalam hukum Islam disebut zina muhson, yang mendapat hukuman dirajam sampai mati.

Percintaan mempunyai prinsip-prinsip pendahuluan, juga mempunyai kesimpulan dan penyelesaiannya. Pengetahuan dan pendahuluan dalam bercinta secara fitrah ada pada diri seseorang yang sudah baligh. Dengan kata lain, dia dapat menguasainya sendiri. Aktivitas melihat, berbicara, bertegur sapa, berkunjung, surat-menyurat, dan pertemuan merupakan bagian dari ikhtiar manusia untuk bercinta, sebagai pendahuluannya. Apabila masalah ini berlanjut dan pelaku tidak bisa menghentikan dirinya dari hawa nafsunya, serta tidak memiliki kendali taqwa, dia akan terjebak pada akibat buruk yang ditimbulkannya. Imam Bushari mengemukakan dalam kasidah burdah-nya :

“Nafsu itu seperti bayi, jika engkau membiarkannya,
Bayi itu akan semakin senang menyusu.
Tetapi, jika engkau menyapihnya, dia akan tersapih.
Berpalinglah dari nafsu dan waspadalah terhadapnya.
Sebab, jika nafsu telah memerintah, akan membuat orang menjadi tuli
Atau dia sendiri yang tuli.”

Ketika nafsu sampai ketingkat yang berbahaya, melalui khayalan atau yang sejenisnya, seseorang akan sulit menghentikan dan menghilangkannya. Dia akan menjadi budak nafsu dan harus bertanggung jawab terhadap akibat-akibatnya.

Apabila orang yang bercinta sampai pada kondisi yang membuat dia tidak dapat menguasai dirinya, sesungguhnya dia telah melaksanakan keinginannya dan memasuki akibatnya dengan usahanya. Orang yang telah melemparkan dirinya kedalam api, tidak akan kuasa mencegah api itu membakarnya. Dia juga tidak akan kuasa berkata kepada api itu, “ jadilah engkau dingin bagiku dan menyelamatkanku”, seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Jika api telah membakarnya, dia berteriak meminta pertolongan, padahal teriakannya itu tidak bemanfaat. Dia sendiri yang telah membakar dirinya dan dia pula yang menyerahkan urusannya kepada api dengan kemauannya.

Begitulah keadaan orang yang diliputi oleh dorongan nafsu, yakni orang yang tenggelam dalam maksiat dengan syahwat dan yang membiasakannya, sehingga dia tidak bisa mengalihkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Al-Qur’an, menutupi hati dan pendengaran, serta membutakan penglihatannya.

“Mereka tidak akan dapat mendengar (kebenaran) dan mereka tidak akan dapat melihatnya.” (QS. Huud : 207).

Kesimpulannya, sesungguhnya wanita yang telah berkeluarga harus merasa cukup dengan suaminya, rida kepadanya, dan harus memperhatikan hal ini semaksimal mungkin. Dia tidak boleh melayangkan pandangannya ke lelaki lain. Dia harus menutup dirinya dari hal-hal yang memungkinkan timbulnya fitnah. Dia harus segera menghentikan dan memendamnya sebelum terjadi peristiwa yang dapat membinasakannya. Maksudnya, apabila dalam hati seorang wanita terbersit suatu rasa yang khusus kepada laki-laki yang bukan suaminya, dia harus melawannya dengan tidak melihatnya, berbicara dengannya, dan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang sensitif. Dalam sebuah kata mutiara dikatakan :

“Sesungguhnya yang jauh dari mata adalah jauh pula dari hati”.

Seharusnya, wanita menyibukkan diri dengan pekerjaaan-pekerjaan lain yang dapat menghilangkan rasa kesepian atau dapat mengisi kekosongan waktunya, sebab waktu yang luang adalah salah satu penyebab timbulnya perasaan-perasaan sensitif tersebut.

Selain itu, seorang wanita harus memohon kepada Alloh agar dapat mencintai suaminya dan memohon kepada-Nya supaya dijauhkan dari badai-badai yang merusak perasaan kasih sayang terhadap suami. Jika niat istri sudah benar, jujur, dan ikhlas kepada suaminya, maka sesungguhnya Alloh swt. Tidak akan membiarkan dia. Apabila dia sulit melawan perasaan cinta, sembunyikanlah dalam dirinya dan bersabarlah atas cobaan yang menimpanya. Insya Alloh dia akan mendapat pahala orang-orang yang sabar atas musibah.

Sebagaimana wanita dilarang mencintai selain pasangan hidupnya, demikian juga laki-laki. Dia tidak boleh mencintai wanita yang tidak mungkin dinikahinya, misalnya karena telah berkeluarga, karena nasab keturunan, adanya ikatan keluarga karena perkawinan, atau karena sepersusuan. Dia dituntut untuk menahan diri dan tidak mengikuti nafsunya (perasaan cintanya) dengan berpegang pada jalan Alloh. Dalam hadist diungkapkan :

“Orang yang (dikatakan) hijrah itu adalah orang (melakukan) hijrah dari perbuatan yang dilarang Alloh dan seorang mujahid adalah orang yang memerangi hawa nafsunya.”

Permasalahan yang terjadi dirumah tangga baik itu pertengkaran antara suami istri karena beda cara pandang, kezaliman yang dilakukan oleh suami dan lain sebagainya, janganlah dijadikan alasan untuk saling menghianati cinta. Ingatlah ! bukankah dulu ketika berniat membangun rumah tangga didasari dengan kesucian cinta. Kalau itu kita sadari janganlah coba-coba salah satu dari penumpangnya melubangi bahtera rumah tangga, karena akan menyebabkan bahtera itu oleng bahkan membinasakan penumpangnya. Kalau bahtera rumah tangga itu sangat susah dikendalikan dan dipertahankan, maka carilah jalan yang ma’ruf yaitu dengan cara bercerai (talak) walaupun dibenci oleh Alloh, dari pada bangunan rumah tangga itu penuh dengan penghianatan dan percikan dosa. Rasululloh saw. Bersabda :

“Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasululloh saw. Bersabda : Sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci oleh Alloh adalah talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Wallohu ‘alam bishowab.

Sumber :
a. Hadyu Al-Islam, Dr. Yusuf Qordhowi.
b. Hukum pernikahan dalam islam, H. Moch. Anwar.